TIMES KLATEN, LANDAK – Di tengah dominasi laki-laki dalam dunia politik, sosok dr. Karolin Margret Natasa, MH., hadir sebagai pengecualian. Perempuan berdarah Dayak ini bukan hanya menembus batas-batas sosial dan budaya, tetapi juga menegaskan perannya sebagai pemimpin daerah yang tangguh dan berdedikasi. Dari ruang praktik medis hingga panggung politik nasional, Karolin menapaki kariernya dengan konsistensi, kecerdasan, dan keberanian.

Lahir di Mempawah pada 12 Maret 1982, Karolin tumbuh dalam lingkungan keluarga birokrat sekaligus pejuang politik. Ayahnya, Drs. Cornelis, MH, adalah tokoh Dayak yang dikenal gigih memperjuangkan kesetaraan bagi masyarakat pedalaman Kalimantan Barat. Ibunya, Frederika, S.Pd, adalah seorang guru yang menanamkan nilai kedisiplinan dan pengabdian sejak dini. Dari keduanya, Karolin belajar arti kepemimpinan yang berakar pada pelayanan.

Masa kecilnya dihabiskan di berbagai kota di Kalimantan Barat, mengikuti penugasan ayahnya. Ia menempuh pendidikan dasar di SD Amkur Sambas, lalu melanjutkan SMP dan SMA di Pontianak. Pada usia 18 tahun, Karolin merantau ke Jakarta untuk kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Atma Jaya. Gelar dokter diraihnya pada tahun 2007. Di kampus, ia aktif berorganisasi di Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan Pemuda Katolik, menandai awal keterlibatannya di dunia sosial dan politik.

Keputusan Karolin meninggalkan kariernya sebagai dokter PNS demi politik sempat dianggap langkah berani, bahkan nekat. Namun baginya, politik adalah jalan pengabdian yang lebih luas. Ia ingin menyalurkan ilmu dan empatinya melalui kebijakan publik. “Menjadi pemimpin berarti hadir untuk rakyat, bukan hanya memberi perintah,” ucapnya suatu kali.

Langkah politiknya dimulai pada Pemilu 2009, ketika ia terpilih menjadi anggota DPR RI dari PDIP di usia 27 tahun. Ia mencetak sejarah dengan perolehan suara 222.021, menempati urutan ketiga terbanyak secara nasional setelah Edhie Baskoro Yudhoyono dan Puan Maharani. Lima tahun kemudian, prestasinya makin gemilang. Pada Pemilu 2014, Karolin meraih 397.481 suara sah, tertinggi secara nasional. Prestasi itu menegaskan daya tarik elektoralnya yang luar biasa di Kalimantan Barat.

Dua periode menjadi legislator di Senayan memberinya pengalaman luas di bidang kesehatan, tenaga kerja, dan kependudukan. Namun, naluri pengabdiannya membawanya pulang ke tanah kelahiran. Tahun 2017, ia mencatat sejarah sebagai perempuan pertama yang menjabat Bupati Landak. Dalam pemilihan itu, Karolin menjadi calon tunggal dan menang mutlak dengan 98,86 persen suara.

Setelah menuntaskan masa jabatannya periode pertama, masyarakat Landak kembali memberikan kepercayaan. Dalam Pilkada 2024, Karolin terpilih lagi sebagai Bupati Landak periode 2025–2030. Kemenangan ini menegaskan bahwa kehadirannya bukan sekadar simbol, melainkan kebutuhan masyarakat akan sosok pemimpin yang mampu membawa daerah menuju masa depan.

Dalam situasi sulit saat ia memimpin, Karolin tampil tegas dan humanis. Di bawah kepemimpinannya, RSUD Landak meraih akreditasi paripurna, fasilitas NICU dibangun untuk bayi prematur, dan cakupan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) meningkat signifikan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Landak juga mencatat kenaikan.

Tak hanya di bidang kesehatan, sektor pertanian menjadi prioritas. Ia menggagas program beras lokal Landak untuk memperkuat ketahanan pangan daerah. Langkah itu mengubah wajah ekonomi pedesaan, membuat Landak dikenal sebagai lumbung pangan Kalimantan Barat. Karolin juga mendorong investasi dan pengembangan UMKM, yang terbukti menjaga ekonomi daerah tetap stabil di masa pandemi.

Kepemimpinannya yang kolaboratif dan berorientasi hasil mengantarkannya meraih berbagai penghargaan. Salah satunya, Anugerah Perempuan Indonesia (API) 2022 sebagai Bupati Perempuan Terbaik se-Kalimantan dalam bidang pemerintahan. Penghargaan ini menjadi bukti bahwa perempuan bisa memimpin tanpa kehilangan identitas dan kelembutan.

Meski sering dikaitkan dengan pengaruh ayahnya, Karolin membuktikan dirinya bukan sekadar penerus “trah politik Cornelis”. Ia membangun reputasi dan jaringan sendiri, dengan kerja keras dan integritas. “Karolin adalah Karolin,” tulis penulis Abdul Mukti Ro’uf dalam bukunya Karolin, Bertindak untuk Landak. “Ia tetap menjadi dirinya sendiri dengan seluruh kekuatan dan kelemahannya.”

Kedekatannya dengan masyarakat menjadi kunci. Ia tak segan turun langsung ke desa-desa, makan di dapur warga, dan berdialog dengan petani. Bagi Karolin, pemimpin sejati adalah mereka yang mau mendengar. Tak heran bila elektabilitasnya tetap tinggi bahkan setelah tak menjabat selama dua tahun.

Dalam Pilkada 2024, rakyat Landak kembali memberi kepercayaan. Bersama pasangannya Erani, ia menang dengan 122.922 suara atau 54,44 persen, memastikan langkahnya melanjutkan kepemimpinan untuk periode 2025–2030.

Sebagai politisi perempuan, Karolin kerap menegaskan pentingnya keberanian dan kepercayaan diri bagi perempuan untuk terjun ke ranah publik. “Perempuan harus berani tampil, tapi tetap menjaga harmoni dan etika,” ujarnya. Bagi Karolin, keberhasilan perempuan bukan soal menyaingi laki-laki, melainkan membuktikan kapasitas dan dedikasi.

Kini, Karolin Margret Natasa menjadi simbol harapan bagi masyarakat Landak dan Kalimantan Barat. Ia melanjutkan langkah ayahnya dengan cara sendiri: lebih terbuka, modern, dan berbasis pelayanan publik.

Dari ruang praktik dokter hingga ruang sidang DPR, dari kampung halaman hingga panggung nasional, jejaknya adalah kisah tentang seorang perempuan Dayak yang membuktikan bahwa kepemimpinan bukan soal garis keturunan, tetapi keberanian untuk bertindak bagi rakyatnya. (*)