TIMES KLATEN, MAGELANG – Di Desa Payaman, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah atau jalan utama Magelang-Semarang, ada sebuah masjid yang bersejarah. Masjid Agung Payaman namanya.
Keberadaan masjid ini sangat mempengaruhi kehidupan sosial budaya warga Magelang, khususnya bagi warga sekitar.
Kaya dalam arsitektur menjadikan masjid ini sebagai salah satu masjid yang ikonik di Magelang, penuh dengan makna dan sejarah tokoh pendirinya.
Menggali dari berbagai sumber, masjid ini didirikan pada 1937 oleh Kiai Siradj. Pusaranya yang berada di barat masjid, sering dikunjungi para peziarah, baik dari Kota Magelang atau mereka yang berasal dari luar kota.
Selain ramai oleh peziarah, masjid ini juga menjadi pusat kegiatan keagamaan dan sosial bagi masyarakat sekitar, khususnya di saat bulan Ramadan.
Terlihat beberapa santri sepuh tengah beraktifitas di serambi masjid, sambil menunggu jadwal mengaji. (FOTO: Hermanto/TIMES Indonesia)
Arsitektur Masjid Agung Payaman mencerminkan gaya khas Jawa yang eksotik dan unik. Bangunannya didominasi oleh ornamen tiang, yang terbuat dari kayu, bahkan hingga kini tiang - tiang kayu tersebut masih kokoh berdiri, menopang bangunan yang juga terlihat sakral.
Pondok Pesantren Sepuh
Di bulan Ramadan, masjid ini nyaris tak pernah sepi. Selain digunakan untuk beribadah warga sekitar, di area masjid juga berdiri Pondok Pesantren Sepuh. Pondok pesantren sepuh adalah, sebutan untuk pondok yang santrinya didominasi oleh para lansia.
Pondok pesantren ini dikenal sebagai tempat bagi santri lansia untuk belajar dan beribadah. Pondok sepuh memiliki dua bagian yaitu, pondok untuk santri putri yang lokasinya berdekatan dengan masjid. Sedangkan untuk santri sepuh pria lokasinya sedikit agak jauh dari masjid.
Untuk pondok lansia putra, biasa disebut Pondok Kidul (selatan). Sebutkan ini tersemat karena, posisi pondoknya berada di sebelah selatan masjid.
Selama bulan Ramadan khususnya, para santri sepuh mengikuti pengajian yang diadakan di serambi masjid. Mulai dini hari mereka sudah terlihat beraktivitas di masjid.
Ada yang melaksanakan sholat sunah, iktikaf, membaca Al-Quran, atau sebatas rebahan untuk melepas lelah. Kegiatan itulah yang menjadikan masjid ini tak pernah sepi.
Mbah Ahmad, salah satu santri sepuh asal Wonosobo bercerita jika dirinya sudah berada di pondok, beberapa minggu sebelum Ramadan. Ia sengaja datang lebih awal, agar bisa menyesuaikan dengan cuaca di Magelang.
"Di sini panas, sedang di daerah saya (Wonosobo) sangat dingin, jadi saya harus menyesuaikan diri dulu, maklum karena sudah tua," paparnya dalam Bahasa Jawa, Selasa (11/3/2025).
Meski sudah uzur, mbah Ahmad yang tahun ini berusia 76 tahun, masih terlihat semangat untuk terus mencari ilmu. "Dari lahir sampai sebelum masuk kubur, harus belajar terus," imbuhnya.
Masjid Agung Payaman, salah satu masjid tua dan ikonik, yang ada di Magelang. (FOTO: Hermanto/TIMES Indonesia)
Selain aktifitas warga sekitar, kegiatan para santri sepuh inilah yang mewarnai masjid agung Payaman, sehinga bukan hanya masjid yang menjadi makmur, namun kegiatan perekonomian di sekitarnya pun terlihat riuh.
Banyak berdatangan pedagang makanan. Mereka menjajakan makan-makana ringan, baik untuk para peziarah, santri sepuh atau keluarga santri yang saat itu tengah bertandang.
Hidayah, salah satu warga sekitar masjid menuturkan jika banyaknya pedagang yang ada di sekitar masjid, turut serta meramaikan lingkungan masjid. Bahkan beberapa kebutuhan dapur pun bisa di dapat dengan mudah.
"Saat saya tidak ingin memasak, saya bisa beli, tidak perlu jauh-jauh mencari karena banyak penjual di sekitar masjid," akunya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Masjid Agung Payaman dan Pondok Sepuh: Warisan Religi dan Pendidikan di Magelang
Pewarta | : Hermanto |
Editor | : Ronny Wicaksono |